Posisi Hal Dalam Bahasa Arab




A.    Pengertian Haal

الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ * مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبْ
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: فَرْداً أَذْهَبُ (aku akan pergisendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:

اَلْحَالُ هُوَ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيْنُ هَيْئَةَ اْلفَاعِلِ أَوْ المفْعُوْلِ بِهِ حِيْنَ وُقُوْعِ الْفِعْلِ وَسُمَّي كَلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبُ الحَالِ.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
  • ·         Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadرَاكِيْباً berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh زَيْدٌ yang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: فَخرَجَ مِنْهَا خَائِفًا =  Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad خَائِفًا berkedudukan sebagaiHaal fa’il lafadz  خرَجَ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
  • ·         Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih
Contoh: رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسَرَّجًا = Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: وَاَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا = “kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf  yang terdapat pada lafadz  وَاَرْسَلْنَاكَ.
  • ·         Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا = Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraanYang dimaksud dengan berkendaraan  itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B.     Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1.      Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:وَحْدَهْ   اَمَنْتُ بِالله(aku beriman kepada Allah). Kalimah وَحْدَهْ adalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: اَمَنْتُ بِالله مُنْفَرِداً.
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَالْحَالُ إِنْ عُرِّفَ لَفْظاً فَاعْتَقِدْ  *تَنْكِيْرَهُ مَعْنًى كَوَحْدَكَ اجْتَهِدْ
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:جَاءَ زَيْدٌ الرَاكِيْبَ
2.      Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.: وَلَا تَمْشِ فِيْ الأَرْضِ مَرَحًا (dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). 
3.      Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
a.       Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ(didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri).  lafadz قَائِمًا berkedudukan sebagai haal dari lafadz رَجُلٌ.
b.      Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: فِيْ اَرْبَعَةِ اَيَامٍ سَوَاءً (dalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz  سَوَاءًberkedudkan sebagai haal dari lafadz  اَرْبَعَةِ.
c.       Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
 وَمَا اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّاَ لَهَا مُنْذِرُوْنَ (dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَهَا مُنْذِرُوْنَadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz قَرْيَةٍKeberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَكَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقَّا *  يَغْلِبُ لكِنْ لَيْسَ مُسْتَحِقّاً
Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadz رَاكِيْباًadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga keadaan:
a.       Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: كَرَّ عَلِيٌ أَسَدًا(Ali menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b.      Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: مُتَقَابِضَيْنِ
c.       Menunjukkan makna tartib, seperti:  دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanyaمُتَرَتِّبَيْنِ.[9]

C.     Macam-macam Haal.

a.       Haal berupa isim mufrad.
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il atau maful bih. Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan). lafadz  رَاكِبًا adalah isim mufrad.
b.      Haal berupa jumlah ismiyah.
Contoh: حَضَرَ الضُيُوْفُ وَالمُضِيْفُ غَائِبٌ (para tamu datang, sedang tuan rumahnya tidak ada). Lafadz  المُضِيْفُ غَائِبٌ adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الضُيُوْفُ.

c.       Haal berupa jumlah fi’liyah.
Contoh: ذَهَبَ الجَانِي تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ  (penjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara). Lafadz  تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ adalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الجَانِي.
d.      Haal berupa zharaf.
Contoh  رَأَيْتُ الهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ(aku telah melihat bulan diantara bulan). Lafadz بَيْنَ  adalah zharaf  yang berkedudukan sebagai haaldari lafadz الهِلَالَ.
e.       Haal berupa jar dan majrur.
Contoh: بِعْتُ الثَّمَرَ عَلَي شَجَرِهِ  (saya menjual buah yang masih ada di pohonya). Lafadz عَلَي شَجَرِهِ adalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الثَّمَرَ.

Sumber: http://ahlibahasaarab.blogspot.com/2014/10/makalah-nahwu-bab-hal.html


0 comments:

Peluang Bisnis PayTren Ustadz Yusuf Mansur